Menerima Sesama Dengan Hati Seperti Allah
Bacaan Alkitab: Roma 15:7-13
Seorang anak muda bernama Kenny, menerima Yesus dalam hidupnya setelah teman baiknya terus menginjilinya. Hingga satu hari, akhirnya dia membulatkan tekadnya untuk datang ke dalam suatu gereja yang letaknya tidak jauh dari rumahnya. Kenny pun mempersiapkan baju terbaik sesuai dengan gaya dan preferensinya, yaitu celana jeans yang sangat terdapat lubang pada bagian lututnya, kaos polos, dan ditutup dengan jaket jeans. Menurutnya, itu penampilan terbaiknya apabila ia pergi bersama teman-temannya. Ketika ia memasuki ruang ibadah, Kenny sangat terkejut dengan tatapan-tatapan sinis mayoritas jemaat ketika melihat gayanya berpenampilan, termasuk usher yang menjabat tangannya, seolah-olah dia orang yang paling berdosa saat itu. Ketika ibadah baru berjalan beberapa menit, akhirnya Kenny memutuskan untuk segera pergi dari gereja itu dengan perasaan kecewa dan berkomitmen tidak akan pernah kembali lagi menginjakkan kakinya ke dalam sebuah gereja.
Sungguh miris bukan? Kesempatan untuk menjangkau jiwa hilang begitu saja hanya karena penghakiman yang dilakukan. Tanpa sadar, seringkali kita juga dapat menghakimi orang-orang yang terlihat “berbeda” dengan kita. Entah berbeda dari cara berpakaian, cara berpikir, preferensi akan suatu hal, selera makanan, dan lain sebagainya; dimana hal-hal tersebut dapat menjadi batu sandungan bagi mereka. Hal ini juga yang dialami oleh jemaat Roma, dimana mereka sulit untuk menerima orang yang “berbeda” dari mereka, khususnya mengenai persoalan makanan yang “haram”. Paulus tidak sedang menyoroti siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi bagaimana mereka seharusnya dapat menerima satu dengan yang lainnya dengan sukacita. Oleh karena itu, ayat 10 mengatakan, “Bersukacitalah, hai bangsa-bangsa dengan umatNya.”
Dalam kehidupan kita sehari-hari, mari kita tanggalkan “kacamata penghakiman” kepada sesama. Sekalipun kita melihat ketidakbenaran dalam paradigma ataupun tindakan teman-teman kita, hendaknya kita menasehatinya dengan penuh kasih. Namun, sebelum kita menasehatinya, kita perlu untuk menerimanya dengan sukacita dan tangan yang terbuka. Sehingga setiap masukan dan nasihat yang kita berikan, dapat diterimanya bukan sebagai serangan tetapi sebagai bentuk kasih.
Penerimaan dengan penuh sukacita merupakan kebutuhan setiap manusia
0 Komentar